Mengasah Kepekaan Hati
Pernikahan
adalah seni tentang menyamakan hati. Dalam fluktuasi masalah, naik turunnya
tekanan batin, serta pasang surutnya iman, bagaimana kita bisa menjalani
hari-hari panjang yang seringkali tidak mudah dengan nyaman. Modal yang sangat
penting agar kita bisa menjadikannya sebagai ibadah kepada Allah.
Tapi ibarat sehelai bulu yang
diterbangkan dan dipermainkan angin, hati kita amatlah rapuh. Ia sangat cepat
berubah bahkan melebihi air yang mendidih di atas periuk. Sehingga membutuhkan
ketrampilan tingkat tinggi untuk membuatnya senantiasa nyaman. Dan hal ini
sangat tidak mudah jika kita memang tidak secara sadar mengupayakannya.
Yang paling penting adalah kualitas
iman yang terjaga. Karena iman menghubungkan hati dengan Allah, memberinya
penghargaan akan balasan semua kebaikan sehingga membuatnya mampu bertahan saat
menghadapi kesulitan. Iman memampukan kita bersabar dalam penderitaan sebab
kita yakin bahwa tidak ada yang sia-sia jika kita melakukan semuanya dngan
ikhlas, memasrahkan sepenuhnya kepada Allah. Setiap kebaikan adalah benih yang
buahnya pasti dan bisa jadi berlipat ganda.
Hubungan dengan Allah inilah yang
membuat kehidupan hamba yang beriman menjadi sangat menakjubkan karena tetap
merasa nyaman dalam keadaan apapun yang dihadapinya. Dia bisa bersyukur saat
apang dan bersabar saat sempit. Dan tidak ada yang bisa melakukan hal itu
kecuali hamba yang beriman. Bukankah hanya dengan mengingat Allah hati akan
menjadi tenang?
Hal ini yang perlu kita perhatikan
adalah mengasah kepekaan hati. Sebab dalam menjalani dinamika kehidupan berumah
tangga, banyak hak hal yang membuat kita tidak nyaman, namun seringkali hal itu
tidak mampu kita katakana. Bisa karena kita kesulitan menemukan bahasa yang
tepat, bisa karena tidak adanya kesempatan yang sesuai, bisa karena kita merasa
tidak ada artinya mengingat tanggapan pasangan selama ini, bisa karena ingin
menjaga hati pasangan agar tidak terluka, atau alasan lainnya yang sangat
personal.
Tetapi saat bibir kita kelu untuk
berucap, lidah kita kaku untuk memproduksi kata-kata, seringkali kita tidak
bisa menyembunyikannya dalam tingkah laku, sikap, atau roman muka. Di sinilah
kita membutuhkan kepekaan hati untuk mengenali dan memberi solusi atas
ketidaknyamanan yang ada. Jangan sampai kita mengabaikan dan membiarkannya, sehingga
ia berubah menjadi bom waktu di kemudian hari.
Banyak orang yang putus asa dan
kecewa dalam diam karena tidak sanggup berkata-kata. Mengasah kepekaan hati
menjadi sangat penting karena diam bukan berarti tidak ada apa-apa dan semuanya
baik-baik saja. Sehingga kita bisa menanggapi ketidaknyamanan yang ada dengan
segera, meredakan potensi terluka dan memilih tidakan yang sesuai agar hati
merasa tenteram. Sebuah proses pembelajaran yang mendewasakan dalam upaya
menata keluarga. Dalam jangka panjang, inilah harga mahal sebuah proses
adaptasi dan komunikasi suami istri. Namun ia akan memberikan hasil yang
sebanding bernama sakinah, mawaddah wa rahmah.
Syahdan, Rasullah SAW mampu
mengenali suasana hati ibunda ‘Aisyah hanya dari bagaiamana ‘Aisyah bersumpah. Beliau
SAW bersabda, “Sungguh aku mengetahui apakah engkau sedang ridha, atau sedang
marah kepadaku.”
Dan saat ibunda ‘Aisyah yang
terkejut bertanya dari mana beliau mengetahuinya, Rasullah SAW menjawab, “Bila
engakau sedang ridha kepadaku, maka ketika engkau bersumpah, engkau berkata,
‘Tidak, demi Rabb Muhammad. Adapaun bila engakau sedang dirundung amarah, maka
ketika engkau bersumpah, engkau berkata ‘Tidak, demi Rabb Ibrahim.” Dan ibunda
‘Aisyah membenarkan hal itu.
Dari riwayat ini, kita juga bisa belajar
bagaimana ibuda ‘Aisyah berusaha untuk menyembunyikan isi hati. Tetap bermuka
manis dan menampakkan kewajaran meski sedang marah. Beliau tetap mendapingi
Rasulullah SAW dan berbicara seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa. Namun
Rasulullah SAW mampu merasakan hal itu karena perhatian, kejelian, dan kepekaan
beliau yang luar biasa. Sebuah teladan tiada banding bagi para suami yang ingin
mendapat manfaat maksimal dari makhluk Allah yang tercipta dari tulang rusuk
yang bengkok.
Ya, sebesar dan segala apapun jilbab
para istri kita, mereka tetaplah manusia biasa yang sempurna. Mereka bukan
robot tanpa perasaan sehingga stabil tanpa perubahan. Mereka manusia tak
sempurna yang mengalami dinamika iman. Kecewa dan terluka juga sangat mungkin
mereka alami, sebagaimana air mata pun bisa tumpah di pipi mereka.
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak
mungkin istrimu kuasa bertahan dalam satu keadaan. Sesungguhnya, wanita itu bak
tulang rusuk. Bila engkau ingin meluruskannya, niscaya engkau mnjadikannya
patah. Adapun bila engkau biarkan begitu saja, maka engkau dapat
bersenang-senang dengannya, (tetapi hendaklah engkau ingat) ia adalah bengkok.”
(HR. Ahmad)
Kepekaan hati menjadi penting
sehingga kekecewaan dan luka hati bisa segera terobati, mendapatkan penghiburan
dan tidak berlarut-larut. Selain akan semakin mengakrabkan kita dengan para
istri, dinamika rumah tangga akan menciptakan warnanya sendiri. Hubungan yang
semula beku bisa mencair, menjadi pelumas akan roda kehidupan keluarga yang
seringkali melewati jalan terjal. Menjadikan hati lapang dan ringan menjalani
hari-hari.
Marilah kita menjadi para suami yang
memiliki kepekaan hati agar memiliki panduan menentukan sikap yang tepat atas
situasi yang ada hingga tidak salah bersikap yang bisa memperburuk keadaan.
Atau berlindung di balik teks-teks nash secara kaku tanpa kompromi atas
perubaan yang terjadi. Bukankah sebaik-baik kita adalah yang paling baik kepada
keluarganya?
Wallahu a’lam.
Posting Komentar untuk "Mengasah Kepekaan Hati"