Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bolehkah Mengkonsumsi Obat Pencegah Haid?

Haid bagi perempuan normal secara umum memiliki siklus bulanan. Bila seseorang haid, ia tidak diperbolehkan melakukan ibadah tertentu, seperti shalat, puasa, membaca Alquran, dan tawaf.

Seiring perkembangan dunia kedokteran dan farmasi, para ahli medis menemukan obat yang bisa digunakan untuk mencegah haid.

Penggunaannya oleh Muslimah dengan tujuan optimalisasi ibadah pun mengundang pertanyaan. Bolehkah, misalnya, mengkonsumsi obat tersebut agar bisa puasa penuh dan melakukan manasik secara utuh?

Mayoritas ulama mazhab menyatakan pandangan yang sama, yaitu Muslimah boleh mengkonsumsi obat pencegah haid selama tindakan itu tidak membahayakan kesehatan dirinya. Menurut Mazhab Hanafi, jika ia meminum obat, lalu darah haid tidak keluar maka siklus bulanan tersebut dinyatakan bukan lagi siklus menstruasi.

Misalnya, si A jadwal haidnya jatuh pada pekan ketiga tiap bulan. Bila haid tak kunjung datang maka siklus bulanan itu gugur. Tetapi, jika ternyata pada tempo itu keluar darah maka itu dianggap menstruasi. Meski, sudah meminum pencegah haid.

Mazhab Maliki menambahkan, tidak keluarnya darah pada siklus sebagai dampak obat berarti tidak menggugurkan kewajiban tawaf, shalat lima waktu, atau puasa Ramadhan. Sebaliknya, jika digunakan untuk mempercepat haid maka darah itu dikategorikan menstruasi.

Ini berlaku dalam bidang ibadah, sementara berkenaan dengan idah, darah haid yang keluar akibat obat tidak dijadikan sebagai dasar ketidakhamilan dan habisnya masa idah itu.

Mazhab Syafi’i mengatakan, penggunaan obat untuk mempercepat haid bagi perempuan yang belum balig, lantas darah itu keluar, maka ia telah dianggap balig dan telah wajib melaksanakan perintah syariat.

Sedangkan, mengkonsumsi obat pencegah haid, tidak berdampak pada kewajiban qadha atau mengganti ibadah yang ditinggalkan, puasa Ramadhan, misalnya. Ini berarti, bila obat tersebut efektif menghalangi haid maka ia tetap wajib shalat fardhu dan berpuasa Ramadhan.

Mazhab Hanbali menyatakan, menunda haid dengan mengkonsumsi obat diperbolehkan.

Ini dengan dua catatan, yaitu penggunaannya tidak berefek negatif pada kesehatan pemakainya dan bagi yang telah bersuami tindakan tersebut harus mendapat persetujuan suami.

Hal ini karena suami berhak untuk mendapatkan keturunan. Dan, ini hanya bisa tercapai bila siklus haid berjalan normal.

Permasalahan serupa juga pernah mengemuka di Dar al-Ifta. Lembaga fatwa otoritatif Mesir tersebut berpendapat, mengkonsumsi obat penunda haid agar bisa maksimal berpuasa atau tawaf diperbolehkan.

Tetapi, ini boleh dengan syarat harus atas dasar rekomendasi dokter. Pemakaiannya pun harus dinyatakan tidak berdampak buruk bagi pengguna, baik efek yang bersifat langsung ataupun tak langsung. Jika berbahaya maka pemakaiannya dilarang.

Komite Fatwa Arab Saudi menegaskan, Muslimah boleh menggunakan obat penunda haid untuk ujuan pemaksimalan haji, umrah, dan puasa Ramadhan. Lembaga ini memberi catatan, penggunaannya tak boleh menyebabkan bahaya bagi konsumen.

Ia dinyatakan tidak perlu mengqadha atau mengganti ibadah selama masa siklus haid itu tertunda. Misalnya, puasa Ramadhan.

Pendapat Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin agak berbeda. Ia berpandangan, perempuan jangan sampai mengkonsumsi obat penunda haid. Tidak hanya saat Ramadhan, tetapi juga kesempatan lainnya. Pendapat ini disampaikan setelah ia memperoleh laporan hasil temuan para dokter perihal bahaya di balik mengkonsumsi obat tersebut.

Obat ini mengancam kesehatan janin, saraf, dan sirkulasi darah. Namun, sebagian kalangan membaca pendapat tokoh ini bukan sebagai bentuk larangan. Melainkan, sekadar catatan. Artinya, mengkonsumsi obat itu tetap boleh, dengan catatan tidak menimbulkan efek samping yang justru membahayakan.

Posting Komentar untuk "Bolehkah Mengkonsumsi Obat Pencegah Haid?"